Artikel
Kontroversi Theosofi Jawa dalam Manuskrip Kapujanggan.
Diskursus Pemikiran tasawuf Islam dijawa mencatat bahwa dinamika theosofi Islam menemukan pertnernya saat berhadapan dengan pemikir mistis Jawa. TAsawuf Islam yang mengedepankan unsure-unsur syari’at agama disebut Tasawuf syar’i sedangkan tasawuf yang mengedepankan unsure-unsur filsafat disebut tasawuf falsafi, pola yang ke dua ini mewujud secara akulturatif dengan mistis Jawa sehingga dikenal pula dengan tasawuf sinkretik. Dalam naskah-naskah Pujangga Jawa, kedua pola pemikiran diatas selalu berdialog (berdialektika) dari waktu ke waktu; semenjak abad 15 era kwalian hingga abad 19 era pujangga Kraton Surakarta. Ragammdialektika itu terekam dalam berbagai kitab diantaranya Serat SulukSiti Jenar; Serat Dharmo Gandul, Suluk Malang Sumirang, Serat Sastra Gending, Serat Cabolek, Serat Centhini dan Suluk Saloka Jiwa. Tulisan ini bermaksud mengeksplorasi isi kontroversi antara pemikiran theosofi Islam dan Jawa dalm naskah-naskah tersebut. Untuk tujuan itu, penelitian ini menggunakan teori dialektika untuk memaparkan dialog dua pemikiran di atas dengan menempatkan para pujangga sebagai disseminator diantara kedua budaya sehingga lahirlah local widom berupa serangkaian sintesa yang unik, penjelasan tentang peran Pujangga itu akan dikemukakan dengan teori artikulasi budaya. Kesimpilan dari tulisan ini adalah bahwa sintesa yang lahir dari dialektika antara theosofi Islam dan mistik Jawa adalah paham Kejawen, dari paham itu muncul dalam keberagaman masyarakat Jawa sebuah institusi baru, yaitu kebatinan dengan budaya dan pranata tertentu yang diterapkan oleh komunitas kaum abangan yang didukung oleh budaya. Tradisi dan ruh Keraton JAwa. Pujangga memainkan peran sentral sebagai penterjemah Tasawuf Islam dalam konteks kelokalan sehingga terwujud penetrasi secara damai.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain