Artikel
Al-Qur’an kultural dan kultur Qur'ani: Interaksi antara Universalitas, Partikularitas, dan Kearifan lokal
Permasalahan seputar universalitas dan partikularitas al-Qur'an menjadi isu sentral yang telah memicu perdebatan serius di kalangan sarjana muslim karena al-Qur'an, sebagai kitab suci, melampaui waktu dan ruang. Selain itu, ia merespon masalah-masalah sosial yang terjadi selama periode kenabian. Artikel ini mengeksplorasi beberapa persoalan mengenai (1) identifikasi akulturasi al-Qur'an dengan tradisi Arab, (2) studi terhadap tafsir al-Quran di Indonesia yang menyerap tradisi lokal, dan (3) analisis terhadap bentuk-bentuk interaksi Qur'an dan kultur. Keilahian ajaran al-Qur'an tidak berarti bahwa isi al-Qur'an kehilangan sifat historisnya karena ia diwahyukan untuk waktu yang lama di jazirah Arab. Historisitasnya tercermin dalam beberapa doktrin yang telah dinegosiasikan dengan tradisi Arab. Tujuan utamanya untuk mengubah setiap tradisi yang ada dengan menyisipkan nilai yang mendasari segala bentuk aturan atau merekonstruksi tradisi. Di Indonesia, akulturasi tersebut juga muncul ketika beberapa penulis tafsir al-Qur’an, seperti Bakri Syahid dalam bukunya Tafsir al-Huda, menggunakan kearifan lokal untuk menafsirkan al-Qur'an, misalnya, penisbatan "pepundhen" (awalnya berarti: tempat suci ) kepada Allah. Interaksi antara al-Qur'an dan budaya dapat dilihat dari akulturasi al-Qur'an sehingga disebut "al-Qur'an kultural", dan dari Islamisasi budaya menghasilkan apa yang disebut "kultur Qur'ani".
Tah 20160343 | J 001.4/2 Tah | Perpustakaan A. Yani | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Tidak tersedia versi lain